Kamis, 09 Desember 2010

CERPEN ABAL-ABAL..



..SUNGGUH TERLALU..


Oleh: Arlina Fahrunnisa


“Nak, ayo sarapan dulu! Nanti nasinya keburu dingin!”. Kata-kata itu selalu Ibu ucapkan pada kami setiap pagi. Setiap hari Ibu pasti menyiapkan sarapan untuk ayah, aku dan adikku tercinta, Octavia. Aku sangat sayang pada adikku. Memang dia memiliki sesuatu yang menurut kebanyakan orang merupakan suatu kekurangan. Tapi menurutku, hal itu jadi suatu kelebihan yang membuatku menyadari banyak hal. Karena itulah aku akan melakukan apapun untuk adikku tercinta.


Aku adalah seorang lelaki yang sangat suka musik dan merupakan mahasiswa jurusan seni musik di salah satu universitas yang cukup terkenal. Sebetulnya aku tidak menyangka kalau aku akhirnya dapat mecicipi bangku kuliah. Itu karena keadaan ekonomiku yang cukup, tapi akan jadi kurang jika aku harus kuliah. Jika aku tidak berusaha untuk mendapat beasiswa, pasti aku sekarang sudah menjadi pengangguran yang hidup dari berjudi.


Di universitas, aku punya banyak sekali teman. Namun, dari sekian banyak teman, hanya Naraya yang menurutku paling enak untuk diajak sharing tentang segala hal. Dia pun pandai dalam memberikan nasihat. Mulai dari bagaimana cara mengelola keuangan, hingga bagaimana cara memperlakukan seorang perempuan. Karena itulah aku merasa nyaman berada di dekatnya. Dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.


“Assalaamu’alaikum..” ucapku halus. Lalu seseorang nan jauh disana menjawab teleponku “wa’alaikum salaam. Gimana kabarmu, Opal? Sehat?” alamaaaakk.. suara perempuan itu sungguh kurindukan. Hanya dia yang memanggilku dengan sebutan Opal. Itu karena dia malas memanggil nama asliku, Nouval. Dan gara-gara tugas kuliah yang seabreg, aku jadi tak punya waktu untuknya. Tapi betapa beruntungnya aku, karena aku memiliki perempuan yang sangat sabar hatinya. Nabel. Satu kata namun penuh makna. “Aku sangat merindukanmu, Pal!”, Nabel seketika bicara. Hari ini aku libur dari kuliah. Kugunakan kesempatan ini untuk mengajak Octa jalan-jalan ke Mall. Tadinya ibu akan ikut, tapi tidak jadi karena ibu merasa kurang enak badan. Akhirnya hanya aku dan Octa yang pergi. Aku sangat merasa bersalah padanya karena aku jarang sekali mengajaknya jalan-jalan. Tapi rasa bersalah itu seketika sirna ketika aku melihat Octa tertawa dengan lepasnya. Aku merasa bahwa utangku terbayar lunas dengan tawanya yang sangat menenangkan.


Setelah puas bermain seharian, aku pun pulang bersama Octa naik taksi. Sebelum naik ke taksi, aku melihat ada seorang laki-laki berpenampilan rapi sedang berusaha untuk mengambil kunci mobilnya di kolong mobilnya. Aku tak segan untuk menolongnya, dan dia pun tak segan mengucapkan terima kasih padaku. Sepertinya dia merupakan laki-laki yang baik hati. Tak menyesal aku menolongnya.


Akhirnya kami sampai di rumah. Dengan kursi rodanya, Octa ingin segera menunjukkan mainan yang baru saja aku belikan untuknya pada ibu. Namun ternyata ibu tidak ada di rumah. Tapi kenapa pintu tidak dikunci? Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku telepon ibu. Dan ternyata ibu sedang membeli obat di Apotek. Aku menawarkan ibu untuk aku jemput, tapi ibu menolak dengan dalih sudah ada becak yang menunggu ibu. Kalau seperti itu keadaannya, aku pun tidak bisa menolak.


Kurang dari sepekan Ujian Akhir Semester akan segera tiba. Tugas makin menumpuk, entah tugas yang mana yang harus didahulukan untuk dikerjakan. Dari mulai presentasi, membuat partitur lagu ciptaan sendiri, dan tugas lainnya yang membuatku sangat ingin muntah. Tapi seperti biasa, Naraya selalu membantuku. Memang dia selalu ada ketika aku senang ataupun sedih. Sambil mendengarkan lagu Norah Jones yang notabene adalah idolaku, aku mulai menyicil tugas-tugas yang sempat tertunda. Lebih tepatnya sengaja untuk ditunda demi hal yang sebetulnya tidak terlalu penting. Di perpustakaan, aku dan Nara menghabiskan waktu hingga tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 17.57. Sebelum pulang ke rumah, aku sholat maghrib terlebih dahulu di mesjid sekitar kampus. Meski berbeda keyakinan, Nara selalu menunjukkan kesetiakawanannya dengan menungguku hingga aku selesai sholat.


Setelah mengerjakan tugas-tugas yang aku pikir tidak berguna itu -meskipun tidak sampai selesai- aku ingin sekali beristirahat sesampainya di rumah nanti. Saat sampai, aku langsung menuju kamar Octa. Disana ia sedang belajar membuat puisi. Aku intip isi puisinya dan ternyata dia cukup berbakat untuk jadi penyair. Setelah melihat puisi yang dibuat Octa, aku jadi teringat Nabel. Aku rindu sekali padanya. Untuk melepas rindu, aku langsung meneleponnya. Tak banyak basa basi, aku langsung membuka secarik kertas yang berisi lirik lagu beserta partitur yang telah kurancang hanya untuk Nabel. Kuambil gitar, lalu aku mulai menyanyikan lagu untuknya meski hanya lewat telepon. Sedikit kudengar dia terisak. Tak tahu dia terharu karena liriknya yang memang bagus, ataukah dia prihatin karena mendengar suaraku yang membuat dia sakit perut. Tapi yang pasti, Nabel memujiku. Aku sangat yakin dia memujiku dengan sepenuh hati. Aku bisa merasakan itu karena selama 4 tahun merajut tali kasih, jarak jauh pula, baru kali ini dia memujiku dengan penuh keikhlasan. Biasanya aku yang memaksanya untuk memujiku. Dalam sambungan telepon ini pula aku minta didoakan supaya aku bisa melaksanakan UAS dengan lancar. Lalu Nabel jawab, “Pasti aku doakan. Kalau Opal udah usaha dan berdoa, serahkan semuanya sama Allah yang Maha Berkehendak. Kita ngga bisa apa-apa. Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan kesuksesan dan menjadi bekal untuk kita bersama nanti.” Ya Allah, aku bisa menerka dari apa yang diucapkannya. Dia ingin sekali kami menjadi jodoh kelak. Lalu Aku pun menjawab, “Makasih buat doanya. Aku pun berharap seperti itu. Semoga doa kita diijabah oleh Maha Pengijabah Doa. Aku menyayangimu.” Nabel menjawab kembali, “Aku pun selalu menyayangimu. Namun jangan sampai melebihi cinta kita pada-Nya.”


Sambungan telepon berakhir dengan tangis haru. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa seorang Nabel mencintai Nouval yang sangat jauh dari kasta sempurna ini. Baru saja aku ingin tidur, tiba-tiba kudengar ada sesuatu yang pecah dari ruang tamu. Aku tengok ke luar, ternyata ayah dan ibu sedang bertengkar. Entah apa yang mereka pertengkarkan. Yang jelas, sejak 7 tahun lalu, pertengkaran ini adalah yang terhebat. Tapi aku tidak menganggap ini sesuatu yang mesti ditakutkan. Karena aku tahu, ayah dan ibu adalah pasangan yang paling harmonis yang pernah aku temui. Hanya kematian yang dapat memisahkan mereka. Tanpa pikir panjang, aku langsung merebahkan badanku diatas kasur yang kadar keempukannya makin berkurang.


Aku bangun pagi-pagi sekali karena hari ini ada kuliah pagi. Aku harus sampai ke kampus lebih kurang pukul 07.00. Ketika aku keluar dari kamarku, aku mendapati keadaan ruang tamu yang acak-acakan. Berantakan tak terkira. Lalu Aku pun bertanya-tanya, “Inikah akibat dari pertengkaran semalam? Tidak mungkin”, gumamku dalam hati. Aku bergegas menuju meja makan, dan disana sudah ada ayah dan ibu yang menunggu untuk sarapan. Aku duduk dan tidak bertanya apapun yang terjadi karena aku sebetulnya tidak ingin tahu masalah mereka. Kami sarapan bersama, kecuali Octa yang masih tidur karena sekolahnya sedang libur. Setelah selesai makan, aku terhentak saat Ibu mengatakan bahwa mereka akan bercerai. Seketika bibirku kaku, tubuhku semacam diikat tali kuat hingga tiada daya tuk bergerak. Aku betul-betul menjadi patung di hadapan mereka. Aku betul-betul tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.


Setelah beberapa lama mematung, akhirnya aku dapat bergerak kembali. Dan tanpa berkata-kata, aku terbirit-birit pergi ke kampus menggunakan vespa kesayanganku. Aku seperti tak bernyawa. Kosong. Semua yang terjadi 10 menit lalu serasa mimpi bagiku. Mengapa mereka harus melakukan hal ini? Apa yang salah pada mereka?


Setibanya di kampus, Nara menyambutku. Dia selalu tahu apapun yang terjadi padaku meskipun aku menyembunyikannya. Aku menceritakan semua yang terjadi dan Nara pun kaget. Dia memintaku untuk tetap sabar dan jangan sampai keadaan ini membuat UASku kacau nanti. Nara benar-benar selalu mengerti aku.


3 TAHUN KEMUDIAN…


Aku bersiap-siap untuk pergi kerja. Seperti biasa aku membaca koran sambil minum kopi. Namun pagi ini berbeda. Aku tiba-tiba teringat pada Octa. Sosok yang selalu Aku banggakan. Satu-satunya pelipur laraku, meskipun kini dia sudah menghadap-Mu. Aku teringat pula pada rumah itu. Rumah yang selalu kurindukan untuk melepas lelah dan penat. Rumah penuh kesejukan yang tak kutemukan di tempat lain. Aku juga rindu Ibu. Aku sangat mencintainya. Tapi itu dulu. Sekarang? Maaf. Rasa cintaku hilang setelah mengetahui ibu berselingkuh dengan lelaki lain. Tanpa disangka-sangka, lelaki selingkuhan ibu adalah lelaki yang aku tolong ketika aku selesai bermain dengan Octa di Mall. Dan tanpa disadari, sebetulnya ibu ada bersama lelaki itu ketika aku menolongnya.


Sejak tahu ibu selingkuh, aku jadi kurang simpati pada wanita dan aku memutuskan untuk tidak akan menikah seumur hidupku. Sampai-sampai Nabel kuputuskan karena aku takut apa yang terjadi pada ayahku, suatu saat nanti akan menimpaku juga. Kabarnya Nabel dijodohkan dengan orang Arab dan sekarang sudah menikah. Syukurlah. Walau dalam hati kecil aku merasakan sedikit perih, aku terima. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk kami berdua.


Sekarang waktunya pergi. Kali ini aku membawa makanan kesukaan ayah, pepes tahu. Setiap hari sebelum menuju tempat kerja, aku selalu menjenguk ayah terlebih dahulu. Perasaanku menusuk ketika dengan terpaksa aku harus membaca tulisan “Rumah Sakit Jiwa” tiap kali aku menjenguk ayah. Kini ayah depresi karena kehilangan ibu juga kehilangan Octa, adikku yang tangguh. Bahkan selama ayah di rumah sakit, ibu hanya pernah menengok sekali. Kasihan ayah. Tapi aku lebih kasihan. Aku sekarang bagai tak berdaya. Punya harta, keluarga tiada.